Senin, 28 Maret 2011

Aku menyesal



Dua puluh tahun yang lalu saya melahirkan seorang anak laki-laki,wajahnya lumayan tampan namun terlihat agak bodoh. Erwan, suamiku,memberinya nama Hadi. Semakin lama semakin nampak jelas bahwa anak ini memang agak terbelakang. Saya berniat memberikannya kepada orang lain saja.
Namun Erwan mencegah niat buruk itu. Akhirnya terpaksa saya membesarkannya juga. Di tahun kedua setelah Hadi dilahirkan saya pun melahirkan kembali seorang anak perempuan yang cantik mungil. Saya menamainya Sari. Saya sangat menyayangi Sari, demikian juga Erwan. Seringkali kami mengajaknya pergi ke taman hiburan dan membelikannya pakaian anak-anak yang indah-indah.

Namun tidak demikian halnya dengan Hadi. Ia hanya memiliki beberapa stel pakaian butut. Erwan berniat membelikannya, namun saya selalu melarangnya dengan dalih penghematan uang keluarga. Erwan selalu
menuruti perkataan saya. Saat usia Sari 2 tahun, Erwan meninggal dunia. Hadi sudah berumur 4 tahun kala itu. Keluarga kami menjadi semakin miskin dengan hutang yang semakin menumpuk. Akhirnya saya mengambil tindakan yang akan membuat saya menyesal seumur hidup. Saya pergi meninggalkan kampung kelahiran saya beserta Sari. Hadi yang sedang tertidur lelap saya tinggalkan begitu saja dengan pertimbangan bahwa saya akan lebih mudah hidup bila hanya membawa seorang anak. Kemudian saya tinggal di sebuah gubuk setelah rumah kami laku terjual untuk membayar hutang. Setahun, 2 tahun, 5 tahun, 10 tahun.. telah berlalu sejak kejadian itu.
Saya telah menikah kembali dengan Suradi, seorang pria dewasa. Usia Pernikahan kami telah menginjak tahun kelima. Berkat Suradi, sifat-sifat buruk saya yang semula pemarah, egois, dan tinggi hati, berubah sedikit demi sedikit menjadi lebih sabar dan penyayang. Sari telah berumur 12 tahun dan kami menyekolahkan dia di asrama putri sekolah perawatan. Tidak ada lagi yang ingat tentang Hadi dan tidak ada lagi yang mengingatnya.
Tiba-tiba terlintas kembali kisah ironis yang terjadi dulu seperti sebuah film yang diputar dikepala saya. Baru  sekarang saya menyadari betapa jahatnya perbuatan saya dulu.tiba-tiba bayangan Hadi melintas kembali di pikiran saya. Ya Hadi, Bunda akan menjemputmu Hadi. Sore itu saya memarkir mobil biru saya di Erwanping sebuah gubuk, dan Suradi dengan pandangan heran menatap saya dari Erwanping. “Mary, apa yang sebenarnya terjadi?”
“Oh, Suradi, kau pasti akan membenciku setelah saya menceritakan hal yang telah saya lakukan dulu.” aku  menceritakannya juga dengan terisak-isak. Ternyata Tuhan sungguh baik kepada saya. Ia telah memberikan suami yang begitu baik dan penuh pengertian. Setelah tangis saya reda, saya keluar dari mobil diikuti oleh Suradi dari belakang. Mata saya menatap lekat pada gubuk yang terbentang dua meter dari hadapan saya. Saya mulai teringat betapa gubuk itu pernah saya tinggali beberapa bulan lamanya dan Hadi.. Hadi…
Namun saya tidak menemukan siapapun juga di dalamnya. Hanya ada sepotong kain butut tergeletak di lantai tanah. Saya mengambil seraya mengamatinya dengan seksama… Mata mulai berkaca-kaca, saya mengenali potongan kain tersebut sebagai bekas baju butut yang dulu dikenakan Hadi sehari-harinya. Saya sempat kaget sebab suasana saat itu gelap sekali. Kemudian terlihatlah wajah orang itu yang demikian kotor. Ternyata ia seorang wanita tua. Kembali saya tersentak kaget manakala ia tiba-tiba menegur saya dengan suaranya yang parau.
“Heii…! Siapa kamu?! Mau apa kau kemari?!”
Dengan memberanikan diri, saya pun bertanya, “Ibu, apa ibu kenal dengan seorang anak bernama Hadi yang dulu tinggal di sini?”
Ia menjawab, “Kalau kamu ibunya, kamu sungguh tega, Tahukah kamu, 10 tahun yang lalu sejak kamu meninggalkannya di sini, Hadi terus menunggu ibunya dan memanggil, ‘Bunda…, Bunda!’ Karena tidak tega,
saya terkadang memberinya makan dan mengajaknya tinggal Bersama saya. Walaupun saya orang miskin dan hanya bekerja sebagai pemulung sampah, namun saya tidak akan meninggalkan anak saya seperti itu! Tiga bulan
yang lalu Hadi meninggalkan secarik kertas ini. Ia belajar menulis setiap hari selama bertahun-tahun hanya untuk menulis ini untukmu…”
Saya pun membaca tulisan di kertas itu…
“Bunda, mengapa Bunda tidak pernah kembali lagi…? Bunda marah sama Hadi, ya? Bunda, biarlah Hadi yang pergi saja, tapi Bunda harus berjanji kalau Bunda tidak akan marah lagi sama Hadi. Selamat tinggal Bunda…”
Saya menjerit histeris membaca surat itu. “Bu, tolong katakan…katakan di mana ia sekarang? Saya berjanji akan meyayanginya sekarang! Saya tidak akan meninggalkannya lagi, Bu! Tolong katakan..!!”
Suradi memeluk tubuh saya yang bergetar keras.
“Nyonya, semua sudah terlambat. Sehari sebelum nyonya datang, Hadi telah meninggal dunia. Ia meninggal di belakang gubuk ini. Tubuhnya sangat kurus, ia sangat lemah. Hanya demi menunggumu ia rela bertahan di belakang gubuk ini tanpa ia berani masuk ke dalamnya. Ia takut apabila Bunda-nya datang, Bunda-nya akan pergi lagi bila melihatnya ada di dalam sana… Ia hanya berharap dapat melihat Bunda-nya dari belakang gubuk ini… Meskipun hujan deras, dengan kondisinya yang lemah ia terus bersikeras menunggu Nyonya di sana.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar